Si Tongtonge Anak kurang Pandai
Tongtonge adalah seorang anakRumah Baru Untuk Riri. Read more ... » remaja yang lugu. Ia tidak pernah sekolah. Sejak kecil ia hidup bersama ayahnya berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang lain. Ia tak pandai bekerja di sawah, apalagi di sawah yang selalu berlumpur. Lumpur bisa merusak kaki. Itu alasannya. Oleh karena itu, ia tidak suka tinggal di kampungnya. Ia memilih tinggal di ladang yang semakin lama semakin jauh dari kampungnya. Sesekali ia pulang menjenguk ibunya yang sudah tua dan kurang pendengarannya.
Pada suatu hari, Tongtonge berhasil membuat “bubu” (alat menangkap ikan). Bubu itu disimpannya di dekat pagar ladangnya. Karena sibuknya membenahi ladangnya, ia tidak sempat ke sungai menangkap ikan dengan bubunya.
Suatu hari, Tongtonge ingin menangkap ikan di sungai. Kemudian, ia menuju tempat penyimpanan di mana bubunya. Ternyata bubu itu telah habis dimakan anai-anai. Dengan nada marah, ia berkata, “Simpan bubu dekat Pagar, bubu dimakan anai-anai, maka anai-anailah yang saya ambil”. Dengan berkata demikian, maka dikumpulkanlah semua anai-anai yang ada di situ. Anai-anai itu dibungkus dan dibawa menjenguk ibunya di kampung. Sampai di suatu tempat ia beristirahat sejenak.
Karena kelelahan ia tertidur. Pada saat terbangun, ia segera mengambil bungkusannya yang berisi anai-anai itu. Tetapi anai-anai itu telah habis dimakan ayam. la pun berkatalah, “Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, maka ayamlah yang saya ambil.” Sambil berkata demikian, ia menangkap ayam yang memakan anai-anai tersebut. Ayam itu lalu dibawanya melanjutkan perjalanan. Sesampai di suatu pemukiman penduduk, ia berhenti. Ayam itu dikepitnya kemana pun ia pergi. Melihat tingkah laku yang aneh itu, salah seorang penduduk menegurnya, “Tongtonge, titipkan ayammu kepadaku, sementara engkau makan dan beristirahat.”
“Terima kasih, tetapi hati-hati jangan sampai ayamku mati”.
“Jangan khawatir, nanti kalau ayammu mati saya ganti”.
Tak lama kemudian apa yang dikhawatirkan Tongtonge pun terjadi. Ayamnya mati terlimpa alu penumbuk padi. Lalu, berkatalah si penumbuk padi, “Maaf Tongtonge ayammu mati tertimpa alu. Nanti akan saya ganti dengan ayamku.
Tongtonge menjawab, “Oh tidak, itu tidak adil. Jika ayamku mati tertimpa alu, maka alu itulah sebagai gantinya”. Lalu ia bergumam, “Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati terlimpa alu, maka alulah yang saya ambil”.
Setelah bergumam demikian, maka Tongtonge melanjutkan perjalanan dengan memikul alu.
Kampungnya masih jauh. Di tengah jalan, ia ditegur seorang penggembala sapi, “Hai anak muda bolehkah Saya meminjam alumu untuk saya jadikan palang pintu kandang sapi-sapi saya.
“Boleh, tetapi harus hati-hati jangan sampai patah”.
“Kalau hanya itu saja syaratnya, kau boleh ambil salah satu dari seratus sapiku ini”.
Mereka telah bersepakat. Tongtonge ikut membantu memasang alu itu sebagai palang pintu. Tidak lama kemudian, seekor sapi yang cukup besar lari dengan kencang menabrak palang pintu tersebut. Apa yang dikhawatirkan pun terjadi. Alu itu patah. Tongtonge pun berkata,
“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam tertimpa alu, alu patah karena sapi, maka sapilah yang saya ambil”.
Selesai berkata demikian, Tongtonge langsung menangkap sapi yang mematahkan alunya, kemudian dituntunnya melanjutkan perjalanan menuju kampungnya. Siang itu, hari cukup terik. Kampung yang dituju masih jauh. Maka Tongtonge pun beristirahat lagi. Sapinya ditambatkan di bawah pohon nangka yang rindang. Bau nangka masak tercium olehnya. Lalu, ia memanjat pohon nangka dan memetik yang telah masak. Pohon itu ridak ada yang punya, karena tidak terletak di dalam pagar. Ia makan dengan lahapnya buah nangka yang ternyata sangat manis. Karena kekenyangan, ia tertidur. Sementara tertidur, angin bertiup agak kencang. Banyak buah nangka masak yang jatuh. Sebuah nangka yang cukup besar jatuh, menimpa sapi yang tertambat di bawahnya. Sapi itu mati seketika.
Tongtonge bergumam pula, “Simpan bubu dekat pagar, bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, maka nangkalah yang saya ambil”.
Setelah itu, Tongtonge memungut nangka Yang menimpa sapinya, lalu melanjutkan perjalanan. Karena nangka itu cukup berat, ia perlu beristirahat. Sampailah ia di sebuah gubug. Di gubug itu tinggal seorang gadis yang cantik. Gadis itu mengajak Tongtonge beristirahat, dengan maksud ditawari makan nangka oleh Tongtonge. Akan tetapi, Tongtonge tidak bermaksud memakan buah nangka itu. Buah nangka itu untuk ibunya. Tongtonge menitipkan nangkanya kepada gadis itu, sementara ia mandi. Gadis itu tidak dapat menahan seleranya. Nangka itu pun dikupas dan dimakannya.
Sekembalinya dari kali, Tongtonge sangat kecewa karena nangka itu telah dimakan oleh sang gadis. Ia pun berkata dalam hati, “Diriku memang sial, bubu disimpan dekat pagar, bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang saya ambil.”
Tongtonge kemudian menyiapkan dua buah keranjang. Keranjang yang satu untuk sang gadis, yang satu diisi batu agar seimbang.
EmoticonEmoticon